Sungguh, akulah itu sang manusia
yang dimaksudnya! Telah begitu dahsyatnya nan luar biasa segala yang disuguhkan
tuhan dalam kehidupanku. Dari yang logis sampai yang nggak masuk akal. Dari
yang di atas kertas bisa digapai hingga yang sama sekali tak terlintas dalam
miliaran sel otakku sendiri. Ah,
tuhan begitu sayang padaku, cinta padaku, memberiku bahkan segala apa yang
nggak sempat kuminta kepada-Nya, menghadiahiku segala yang bahkan aku nggak
akan pernah menggunakannya. Tapi, apa gerangan hal-hal besar yang telah
kuberikan kepada Tuhan? Nggak ada! Apa sih hal-hal prinsipil secara hamba yang
telah kulakukan untuk membalas segala kebaikan Tuhan, anugrah-anugrah-Nya
selama ini? Nggak ada!
Apa yg aku lakukan untuk tuhanku setelah aku kini yg diangkat begitu tinggi oleh-Nya tetaplah sama dengan apa yang telah kulakukan dulu kala aku nggak punya apa-apa? Aku tetaplah seperti aku dulu dalam hal mengabdi kepada-Nya: shalat suka telat, kadang subuh kesiangan, usai salam langsung mencelat, ngaji kayak kutu loncat, kalau ada peminta begitu berat, puasa penuh sambat, dan sebagainya.
Sementara, Tuhan telah memberiku yg terbaik (bahkan amat sangat lebih dari terbaik), tidak seperti dulu itu. Logikanya, mestinya aku mengabdikan diri dengan lebih baik dong pada-Nya sebagai tanda bahwa aku mensyukuri anugerah-anugerah indah-Nya ini.
Tapi nggak! Bahkan, aku kian lancang pada-Nya. Aku kian berani mengabaikan-Nya. Aku makin rajin memberi-Nya alasan untuk membenciku. Aku makin menjauh dari-Nya.
Entahlah, Bro!
yang pasti kutahu kini hanyalah sungguh teramat sangat sering aku mengaggap-Nya sebagai Dzat yang amat sangat mencintaiku. Cinta,ya, kurterjemahkan cinta tuhan padaku sebagaimana aku mencintai orang dalam kehidupanku. Cinta yang menghadirkan energi untuk mengerti, memaafkan, dan memperhatikan. Lantaran filosofi cinta macam inilah yang kutancapkan pada cinta tuhan padaku, maka tuhan pun kuposisikan sebagai Dzat yang niscaya sudi mengerti, memaafkan, dan memperhatikanku. Sehingga, di mataku, kendati aku sering mengecewakan-Nya dengan sering melanggar larangan-larangan-Nya, mengabaikan-Nya dengan tidak istiqamah atas perintah-perintah-Nya, dan mengecilkan-Nya dengan sering tidak mengingat keberadaan-Nya dalam hidupku, niscaya tuhan akan tetap bisa mengerti, memaafkan, dan memperhatikan aku.
Ah, lantaran kuyakin tuhan begitu sayang padaku, maka dosa-dosa dikit nggak apa-apalah. Sebab, kuyakin tuhan mencintaiku, maka nggak istiqamah dan on time menunaikan shalat yg diperintahkan-Nya nggak apa-apalah. Pasti tuhan mau ngertiin aku kok, maafin dosaku kok, dan tetap merhatiin semua kebutuhanku kok.
Yah! Sempurnalah aku dengan keyakinan filosofis spiritual begitu sebagai hamba (secara hakiki posisinya demikian) yg memaksa tuan (posisi hakiki tuhan) untuk mau mengerti, memaafkan, dan memperhatikanku. Aku kembalikan hierarki hamba tuhan dengan begitu pede-nya.
Aku sering kali begitu optimis lantaran merasa telah melakukan sebuah kebaikan yang disukai-Nya, dengan mengklaim bahwa amal baikku ini akan menghantarkanku untuk memperoleh ridha-Nya, Surga-Nya. Amal baik ini akan dibalas oleh-Nya dengan disediakan bagiku sebuah istana megah di Surga-Nya!
Sebuah amal baik yang dipancangkan sebagai penjamin bahwa tuhan akan membalasnya dengan kemegahan surge. Ah, pede banget ya aku ini, kendati dalam hati kecilku sering aku berguman sendiri, “benarkah amal baik itu diterima oleh-Nya? Kalaupun diterima, benarkah amal baik itu mampu mengimbangi amal-amal burukku selama ini?”
Ah, pede-nya aku!
padahal, tuhan sama sekali nggak butuh aku untuk mau menyembah, mengabdi, atau beribadah pada-Nya. Tanpa sembahanku, abdianku, atau ibadahku pun tuhan tetap akan sempurna dalam Dzat-Nya sebagai tuhan itu sendiri. Bahkan, tanpa adanya aku pun di muka bumi ini, tuhan akan tetap sebagai tuhan, tanpa terkurangi setitikpun kualitas ketuhanan-Nya.
Lalu, apa sih landasan bagiku untuk pede banget mengklaim tuhan sayang banget padaku, sehingga meski aku sering melanggar larangan-Nya dan meninggalkan perintah-Nya, tuhan akan tetap ngertiin aku, maafin aku, dan memperhatiin aku?
Aku nggak menemukan jawabannya!
apa sih pentingnya aku ini bagi tuhan kok mau-maunya tuhan berbuat begitu sayang padaku ya? Aku nggak juga berhasil menemukan manfaatnya bagi tuhan.
Apa sih dampak negatifnya bagi tuhan bila dia nggak ngertiin aku, nggak maafin aku, dan nggak memperhatiin akku?
Nggak ada blas! Nggak ngaruh blas!
ah, aku ini memang manusia bodoh kok, banget malah! Secara rasio, aku tahu pasti bahwa keberadaanku dan semua tindak tandukku sama sekali nggak penting banget bagi eksistensi tuhan dalam segala keagungan-Nya, ehhh… kok masih saja aku selalu pede bahwa tuhan begitu sayang padaku ya! Apa nggak bodoh sih sikap spiritualitas kayak gini? Apa nggak konyol bin bego bin guobbblokkk caraku dalam beragama dan bertuhan ini?
saat kubaca sekian kalinya, kian tebal kutemukan keyakinan di relung hatiku bahwa yang dimaksud dengan kalimat, “…lebih sering memberikan alasan pada tuhan untuk menghadirkan hal yang kurang baik…” ialah sikap setiap manusia salam menyikapi perintah dan larangan tuhan dalam kehidupannya akan memberikan dampak positif/negative bagi dirinya sendiri. Hasil akhir apakah itu positif atau negative akan di tentukan oleh sikap masing-masing atas perintah dan larangan tuhan.
sekalipun tuhan memang begitu sayang padaku, padamu, atau padanya, jangan suka menciptakan alasan pada tuhan untuk memaksa-Nya memberikan hal buruk dalam kehidupan kita.
ah, aku tahu betapa dalamnya makna ungkapan itu, betapa baiknya itu untuk kujadikan prinsip hidupku ini, namun kenapa ya kok aku masih terkungkung dalam pede-nya bahwa tuhan begitu sayang padaku sehingga dosa-dosaku akan selalu dimengerti-Nya, dimaafkan-Nya, dan diperhatikan-Nya?
sehingga, aku pun masih sama seperti dulu dan kemarin : tetap rajin melanggar-Nya, tetap istiqamah menyepelekan-Nya, dan tetap jago melupakan-Nya! {}
Apa yg aku lakukan untuk tuhanku setelah aku kini yg diangkat begitu tinggi oleh-Nya tetaplah sama dengan apa yang telah kulakukan dulu kala aku nggak punya apa-apa? Aku tetaplah seperti aku dulu dalam hal mengabdi kepada-Nya: shalat suka telat, kadang subuh kesiangan, usai salam langsung mencelat, ngaji kayak kutu loncat, kalau ada peminta begitu berat, puasa penuh sambat, dan sebagainya.
Sementara, Tuhan telah memberiku yg terbaik (bahkan amat sangat lebih dari terbaik), tidak seperti dulu itu. Logikanya, mestinya aku mengabdikan diri dengan lebih baik dong pada-Nya sebagai tanda bahwa aku mensyukuri anugerah-anugerah indah-Nya ini.
Tapi nggak! Bahkan, aku kian lancang pada-Nya. Aku kian berani mengabaikan-Nya. Aku makin rajin memberi-Nya alasan untuk membenciku. Aku makin menjauh dari-Nya.
Entahlah, Bro!
yang pasti kutahu kini hanyalah sungguh teramat sangat sering aku mengaggap-Nya sebagai Dzat yang amat sangat mencintaiku. Cinta,ya, kurterjemahkan cinta tuhan padaku sebagaimana aku mencintai orang dalam kehidupanku. Cinta yang menghadirkan energi untuk mengerti, memaafkan, dan memperhatikan. Lantaran filosofi cinta macam inilah yang kutancapkan pada cinta tuhan padaku, maka tuhan pun kuposisikan sebagai Dzat yang niscaya sudi mengerti, memaafkan, dan memperhatikanku. Sehingga, di mataku, kendati aku sering mengecewakan-Nya dengan sering melanggar larangan-larangan-Nya, mengabaikan-Nya dengan tidak istiqamah atas perintah-perintah-Nya, dan mengecilkan-Nya dengan sering tidak mengingat keberadaan-Nya dalam hidupku, niscaya tuhan akan tetap bisa mengerti, memaafkan, dan memperhatikan aku.
Ah, lantaran kuyakin tuhan begitu sayang padaku, maka dosa-dosa dikit nggak apa-apalah. Sebab, kuyakin tuhan mencintaiku, maka nggak istiqamah dan on time menunaikan shalat yg diperintahkan-Nya nggak apa-apalah. Pasti tuhan mau ngertiin aku kok, maafin dosaku kok, dan tetap merhatiin semua kebutuhanku kok.
Yah! Sempurnalah aku dengan keyakinan filosofis spiritual begitu sebagai hamba (secara hakiki posisinya demikian) yg memaksa tuan (posisi hakiki tuhan) untuk mau mengerti, memaafkan, dan memperhatikanku. Aku kembalikan hierarki hamba tuhan dengan begitu pede-nya.
Aku sering kali begitu optimis lantaran merasa telah melakukan sebuah kebaikan yang disukai-Nya, dengan mengklaim bahwa amal baikku ini akan menghantarkanku untuk memperoleh ridha-Nya, Surga-Nya. Amal baik ini akan dibalas oleh-Nya dengan disediakan bagiku sebuah istana megah di Surga-Nya!
Sebuah amal baik yang dipancangkan sebagai penjamin bahwa tuhan akan membalasnya dengan kemegahan surge. Ah, pede banget ya aku ini, kendati dalam hati kecilku sering aku berguman sendiri, “benarkah amal baik itu diterima oleh-Nya? Kalaupun diterima, benarkah amal baik itu mampu mengimbangi amal-amal burukku selama ini?”
Ah, pede-nya aku!
padahal, tuhan sama sekali nggak butuh aku untuk mau menyembah, mengabdi, atau beribadah pada-Nya. Tanpa sembahanku, abdianku, atau ibadahku pun tuhan tetap akan sempurna dalam Dzat-Nya sebagai tuhan itu sendiri. Bahkan, tanpa adanya aku pun di muka bumi ini, tuhan akan tetap sebagai tuhan, tanpa terkurangi setitikpun kualitas ketuhanan-Nya.
Lalu, apa sih landasan bagiku untuk pede banget mengklaim tuhan sayang banget padaku, sehingga meski aku sering melanggar larangan-Nya dan meninggalkan perintah-Nya, tuhan akan tetap ngertiin aku, maafin aku, dan memperhatiin aku?
Aku nggak menemukan jawabannya!
apa sih pentingnya aku ini bagi tuhan kok mau-maunya tuhan berbuat begitu sayang padaku ya? Aku nggak juga berhasil menemukan manfaatnya bagi tuhan.
Apa sih dampak negatifnya bagi tuhan bila dia nggak ngertiin aku, nggak maafin aku, dan nggak memperhatiin akku?
Nggak ada blas! Nggak ngaruh blas!
ah, aku ini memang manusia bodoh kok, banget malah! Secara rasio, aku tahu pasti bahwa keberadaanku dan semua tindak tandukku sama sekali nggak penting banget bagi eksistensi tuhan dalam segala keagungan-Nya, ehhh… kok masih saja aku selalu pede bahwa tuhan begitu sayang padaku ya! Apa nggak bodoh sih sikap spiritualitas kayak gini? Apa nggak konyol bin bego bin guobbblokkk caraku dalam beragama dan bertuhan ini?
saat kubaca sekian kalinya, kian tebal kutemukan keyakinan di relung hatiku bahwa yang dimaksud dengan kalimat, “…lebih sering memberikan alasan pada tuhan untuk menghadirkan hal yang kurang baik…” ialah sikap setiap manusia salam menyikapi perintah dan larangan tuhan dalam kehidupannya akan memberikan dampak positif/negative bagi dirinya sendiri. Hasil akhir apakah itu positif atau negative akan di tentukan oleh sikap masing-masing atas perintah dan larangan tuhan.
sekalipun tuhan memang begitu sayang padaku, padamu, atau padanya, jangan suka menciptakan alasan pada tuhan untuk memaksa-Nya memberikan hal buruk dalam kehidupan kita.
ah, aku tahu betapa dalamnya makna ungkapan itu, betapa baiknya itu untuk kujadikan prinsip hidupku ini, namun kenapa ya kok aku masih terkungkung dalam pede-nya bahwa tuhan begitu sayang padaku sehingga dosa-dosaku akan selalu dimengerti-Nya, dimaafkan-Nya, dan diperhatikan-Nya?
sehingga, aku pun masih sama seperti dulu dan kemarin : tetap rajin melanggar-Nya, tetap istiqamah menyepelekan-Nya, dan tetap jago melupakan-Nya! {}
Komentar
Posting Komentar