Langsung ke konten utama

CENDAWAN ENTOMOPATOGEN UNTUK MENGENDALIKAN HAMA TANAMAN PANGAN

Di Indonesia, pemanfaatan agen hayati khususnya cendawan entomopatogen untuk pengendalian hama mulai berkembang pesat sejak abad ke-19 khususnya untuk mengendalikan hama pada tanaman perkebunan (Sudarmadji dan Gunawan 1994; Junianto 2000).  Pada tanaman pangan, pemanfaatan cendawan entomopatogen untuk pengendalian hama masih menemui berbagai kendala, antara lain kondisi lingkungan mikro yang kurang kondusif bagi perkembangbiakan mikroorganisme tersebut (Steinkraus dan Slaymaker 1994; Glare et al. 1995; Lacey dan Goettel 1995; Oduor et al. 1996). Hal ini karena tanaman pangan bersifat semusim, sehingga apabila tanaman tersebut dipanen kemudian diganti dengan jenis tanaman lain maka inokulum cendawan sebagai sumber infeksi awal di lapangan sulit untuk bertahan hidup dan berkembang (Hajek et al. 1990; Farques et al. 1997; Thomas dan Jenkins 1997). Hal ini berbeda dengan tanaman perkebunan. Biasanya tanaman yang dibudidayakan hanya satu jenis dan bersifat tahunan, sehingga cendawan entomopatogen yang diaplikasikan mudah menyesuaikan diri dan berkembang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat.
Keefektifan cendawan entomopatogen di lapangan juga ditentukan oleh stadia inang pada saat cendawan diaplikasikan. Biasanya populasi hama di lapangan sering tumpang tindih, terutama hama dari ordo Lepidoptera dan Hemiptera. Perubahan stadia instar (nimfa) serangga akan mempengaruhi perilaku serangga tersebut yang akhirnya akan menentukan keefektifan cendawan. Keefektifan cendawan entomopatogen juga ditentukan oleh kondisi lingkungan, seperti curah hujan dan sinar matahari khususnya sinar ultra violet yang dapat merusak konidia cendawan (Tanada dan Kaya 1993; Wahyunendo 2002; Prayogo 2004; Suharsono dan Prayogo 2005). Konidia merupakan salah satu  organ infektif (propagule) cendawan yang menyebabkan infeksi pada integumen serangga yang diakhiri dengan kematian. Oleh karena itu, konidia cendawan tersebut perlu dilindungi waktu diaplikasikan, baik dengan bahan perekat maupun bahan pembawa sehingga pengaruh buruk tersebut dapat dieliminir. Tulisan ini menyajikan berbagai faktor yang mempengaruhi keefektifan cendawan entomopatogen dan upaya untuk meningkatkan keefektifannya dalam pengendalian hama, terutama pada tanaman pangan.
Dalam konsep PHT, identifikasi jenis hama merupakan salah satu tindakan pertama yang harus dilakukan petani sebelum mengambil keputusan tindakan pengendalian (Rauf 1996). Melalui identifikasi akan diketahui jenis hama sasaran, perilaku hama, tindakan pengendalian yang diperlukan, dan kapan tindakan pengendalian perlu dilakukan. Dengan mengetahui hama yang menyerang tanaman, secara tidak langsung dapat diketahui pula jenis cendawan entomopatogen yang sesuai untuk tindakan pengendalian, karena setiap jenis cendawan entomopatogen mempunyai inang yang spesifik. Cendawan Metarhizium anisopliae, misalnya, diketahui dapat menginfeksi beberapa jenis serangga dari ordo Coleoptera, Lepidoptera, Homoptera, Hemiptera, dan Isoptera. (Lee dan Hou 1989; Romero et al. 1997; Luz et al. 1998; Kanga et al. 2003; Strack 2003). Namun M. anisopliae paling efektif bila digunakan untuk mengendalikan hama dari ordo Isoptera (Strack 2003). Hal ini karena adanya hubungan perilaku antara serangga inang dengan keefektifan cendawan entomopatogen. Fenomena tersebut ditunjukkan oleh hasil uji infeksi ulang. Dari beberapa jenis cendawan entomopatogen yang diperoleh dari ulat grayak Spodoptera litura dan Helicoverpa armigera, cendawan Nomuraea rileyi paling efektif mengendalikan S. litura dengan mortalitas mencapai 100%. Cendawan tersebut dilaporkan merupakan salah satu agen hayati yang potensial untuk mengendalikan hama dari ordo Lepidoptera, walaupun juga mampu menginfeksi serangga dari ordo lain (Ignofo 1981; Suryawan dan Carner 1993). Fakta lain menunjukkan bahwa cendawan Verticillium lecanii yang diisolasi dari walang sangit (Leptocoriza acuta) efektif terhadap hama pengisap polong kedelai Riptortus linearis (Prayogo 2004) dengan menyebabkan  mortalitas yang cukup  tinggi dan biji yang rusak relatif rendah (Gambar 2). Cendawan V. lecanii juga dapat mengkolonisasi telur R. linearis sehingga banyak telur yang tidak menetas (Gambar 3) (Prayogo 2004; Prayogo et al. 2004). Cendawan B. bassiana juga mampu menginfeksi beberapa jenis serangga hama, terutama dari ordo Lepidoptera, Hemiptera, Homoptera, dan Coleoptera (Varela dan Morales 1996; Hardaningsih dan Prayogo 2001; Prayogo et al. 2002b). Namun, cendawan tersebut lebih efektif mengendalikan hama dari ordo Coleoptera (Varela dan Morales 1996).
Keberhasilan pengendalian hama dengan cendawan entomopatogen juga ditentukan oleh konsentrasi cendawan yang diaplikasikan (Hall 1980), yaitu kerapatan konidia dalam setiap mililiter air. Jumlah konidia berkaitan dengan banyaknya biakan cendawan yang dibutuhkan setiap hektar. Kerapatan konidia yang dibutuhkan untuk mengendalikan hama bergantung pada jenis dan populasi hama yang akan dikendalikan (Tohidin et al. 1993; Wikardi 1993). Pada tanaman pangan, kerapatan konidia yang dibutuhkan lebih tinggi dibandingkan dengan pada tanaman perkebunan. Untuk mengendalikan hama wereng coklat, dibutuhkan kerapatan konidia cendawan M. anisopliae 1015/ml (Baehaki dan Noviyanti 1993; Tabel 1). Sementara itu untuk mengendalikan hama ulat daun kelapa sawit (Darna catenata) hanya dibutuhkan kerapatan konidia B.
Keefektifan cendawan entomopatogen untuk pengendalian hama tanaman pangan dapat ditingkatkan melalui berbagai  upaya, antara lain: 1) mengetahui jenis hama yang akan dikendalikan,  2) melakukan aplikasi pada sore hari dengan dosis aplikasi 1−2 kg biakan cendawan tiap hektar dengan kerapatan konidia minimal 107/ml, 3) melakukan aplikasi tiga kali berturut-turut selama 3 hari, dan 4) menambahkan perekat alkil gliserol ftalat dan bahan pembawa berupa tetes tebu pada suspensi konidia sebelum diaplikasikan pada hama sasaran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manfaat, Keuntungan dan Kekurangan Menggunakan Mulsa Plastik

Mulsa plastik atau sering disebut juga mulsa plastik hitam perak (MPHP) adalah lembaran plastik khusus dengan dua sisi yang berbeda warna, yaitu hitam dan perak. Mulsa plastik digunakan untuk menutupi lahan tanaman budidaya untuk mencegah pertumbuhan gulma, menjaga kelembaban tanah, menjaga struktur tanah, mencegah erosi permukaan tanah serta meminimalisir hama dan penyakit tanaman. Mulsa plastik banyak digunakan pada budidaya tanaman hortikultura seperti cabai, tomat, terong, seledri, kubis, sawi, okra, paprika dan lain sebagainya. Namun sebagian petani juga menggunakan mulsa plastik pada budidaya pepaya. Mulsa plastik memiliki warna yang berbeda yaitu hitam dan perak, warna hitam dipasang dengan posisi dibawah dan warna perak dipasang dengan posisi diatas. Warna perak pada mulsa plastik berfungsi untuk memantulkan sinar matahari ketanaman dengan tujuan untuk mencegah atau mengurangi serangan hama tanaman. Mulsa plastik efektif untuk mencegah dan meminimalisir ...

Apa itu SIG ?

SIG adalah Sistem Informasi Geografis.  Sistem merupakan sekelompok komponen dan elemen yang digabungkan menjadi satu untuk mencapai tujuan tertentu. Informasi adalah data yang diolah. Georafis adalah mempelajari tentang keadaan/gambar bumi. berarti, Sistem Informasi Georafis adalah sistem berbasis komputer yang mengolah data berupa keadaan/gambar bumi.pengertian lainnya tentang SIG menurut para ahli antara lain: Menurut Prahasta  : SIG merupakan sejenis  software  yang dapat digunakan untuk pemasukan, penyimpanan, manipulasi, menampilkan, dan keluaran informasi geografis berikut atribut-atributnya. Menurut Alter  :   SIG adalah sistem informasi yang mendukung pengorganisasian data, sehingga dapat diakses dengan menunjuk daerah pada sebuah peta. Sistem Informasi Geografis dibagi menjadi dua kelompok yaitu sistem manual (analog), dan sistem otomatis (yang berbasis digital komputer). Perbedaan yang paling mendasar terletak pada cara pengelolaanny...

KLASIFIKASI SATUAN GEOMORFOLOGI

SATUAN GEOMORFOLOGI (Eka Novia Rosalynda / 1525010015) Geomorfologi merupakan ilmu pengetahuan tentang bentuk-bentuk permukaan bumi atau roman muka bumi dan perubahan-perubahan yang terjadi pada bumi itu sendiri karena adanya kekuatan-kekuatan yang bekerja baik dari luar dan dalam bumi. Di mana geomorfologi yang merupakan cabang dari ilmu geografi, memperlajari tentang bentuk muka bumi, yang meliputi pandangan luas sebagai cakupan satu kenampakan sebagai bentang alam sampai pada satuan terkecil sebagai bentuk lahan. Hubungan geomorfologi dengan kehidupan manusia adalah dengan adanya pegunungan-pegunungan, lembah, bukit, baik yang ada didarat maupun di dasar laut. Dan juga dengan adanya bencana alam seperti gunung berapi, gempa bumi, tanah longsor dan sebagainya yang berhubungan dengan lahan yang ada di bumi yang juga mendorong manusia untuk melakukan pengamatan dan mempelajari bentuk geomorfologi yang  ada di bumi. Baik yang berpotensi berbahaya maupun aman, sehingga dilak...